Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SOE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2025/PN Soe 1.FRANS UNFETO
2.SANTI MELLA
Kapolri Cq Kapolda NTT Cq Kapolres TTS Cq Kasat Reskrim Polres TTS Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 05 Des. 2025
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Soe
Tanggal Surat Jumat, 05 Des. 2025
Nomor Surat PN SOE-693210027C604
Pemohon
NoNama
1FRANS UNFETO
2SANTI MELLA
Termohon
NoNama
1Kapolri Cq Kapolda NTT Cq Kapolres TTS Cq Kasat Reskrim Polres TTS
Kuasa Hukum Termohon
NoNamaNama Pihak
1Anthon C.N. S.H. M.Hum, DKKKapolri Cq Kapolda NTT Cq Kapolres TTS Cq Kasat Reskrim Polres TTS
Petitum Permohonan

 

 

KANTOR HUKUM

      ARNOLDUS MANO, S.H & REKAN          

ADVOKAT & KONSULTAN HUKUM

Alamat :

                   Jln. Sisingamangaraja, RT/RW : 003/002, Kel. Benpasi, Kec.Kota Kefamenanu, Kab. Timor Tengah Utara, Prov. NTT

Tlp/WA : 082 146 329 718, Email : artomano2894@gmail.com

 

Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Kepada Yth,

Ketua Pengadilan Negeri Kelas II Soe

di –

    SOE

 

Dengan hormat,

Kami yang bertandatangan di bawah ini : ARNOLDUS MANO,S.H, EGIARDUS BANA,S.H.,M.H, JEREMIAS FRIDS BANI,S.H, MARIO M. KEBO,S.H & DOMINIKUS G. BOYMAU, S.H., Adalah ADVOKAT & KONSULTAN HUKUM pada KANTOR HUKUM ARNOLDUS MANO,S.H.  & REKAN, Yang beralamat di Jln. Sisingamangaraja, RT/RW: 003/002, Kelurahan Benpasi, Kecamatan Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, domisili elektronik : artomano2894@gmail.com, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : 01/SKK-PRAPID/AMR/XII/2025, Tanggal 1 Desember 2025, untuk selanjutnya bertindak untuk dan atas nama :

  1.  FRANS UNFETO, NIK : 5302011602760001, Tempat/Tanggal Lahir : Kapan, 16-Februari-1976, Agama : Kristen, Kewarganegaraan : Indonesia, Pekerjaan : Wiraswasta, Alamat : Oekamusa, RT/RW : 001/001, Desa : Mnelalete, Kec. Amanuban Barat, Kab. Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur;-----------------------------------------------------------------------------
  2. SANTI MELLA, NIK : 5302226812930001, Tempat/Tanggal Lahir : Baki Bait, 28-Mei-1993, Agama : Kristen, Kewarganegaraan : Indonesia, Pekerjaan : Belum/tidak bekerja, Alamat : Baki Bait, RT/RW : 011/006, Desa : Oel Uban, Kec. Mollo Barat, Kab. Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur;----------------------------------------------------------------------------------------------------

yang selanjutnya  disebut sebagai PARA PEMOHON PRAPERADILAN.

 

Bahwa PEMOHON PRAPERADILAN Mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap: KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, CQ KEPALA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA TIMUR, KEPOLISIAN RESOR TIMOR TENGAH SELATAN CQ KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES TIMOR TENGAH SELATAN SELAKU PENYIDIK yang beralamat di Jalan Gajah Mada No 94 Soe, Kelurahan : Karang Siri, Kecamatan : Kota Soe, Kabupaten : Timor Tengah Selatan, Prov. NTT. Selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai TERMOHON PRAPERADILAN.

 

  1. DASAR HUKUM DIAJUKANNYA PRAPERADILAN;
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai buah perjuangan seluruh rakyat Indonesia, didirikan dengan tujuan yang luhur untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta berlandaskan keadilan sosial. Demi tujuan itulah, bangsa Indonesia membentuk dan menyusun suatu Pemerintahan Indonesia, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang termaktub di dalam Alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam rangka itu, sejak semula berdirinya Negara Indonesia, telah diletakkan suatu landasan negara yang ideal, sebagaimana Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia berlandaskan hukum (rechstaat), bukan kekuasaan (machstaat)”;
  2. Bahwa  oleh karena Negara Hukum (rechstaat), maka setiap warga Negara wajib mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa ada pengecualian (Equality before the law), sebagaimana tereksplisit dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945;
  3. Bahwa  penegakkan Hukum dalam Sistem Peradilan pidana termasuk Upaya paksa (Dwang Middelen) yang dilaksanakan oleh Aparatur Penegak Hukum untuk mengungkap suatu dugaan tindak pidana, tetaplah dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip Due process of law,  yakni  hukum ditegakkan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Umum, sekaligus tetap memperhatikan  Hak Asasi warga Negara agar tidak boleh dirampas, dihilangkan, diabaikan begitu saja atas nama Hukum;
  4. Bahwa prinsip Due process of law  adalah manifestasi dari adanya penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan menjamin tegaknya hak itu dengan melarang dan mencegah Setiap Perbuatan Apa Saja Atas, Dasar Alasan Apa Pun, Dan Oleh Siapa Pun Juga agar tidak bertentangan dengan HAM, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan : “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”
  5. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Hukum Formil, diadakan dengan tujuan agar penyelenggaraan Peradilan Pidana dapat menghadirkan suatu kebenaran materill, yakni suatu kebenaran yang sebenar-benarnya tanpa keragu-raguan yang beralasan (the truth without a reasonable doubt). Kebenaran Materiil hanya dapat diperoleh dari adanya alat-alat bukti yang sah, yang diperoleh dan ditentukan melalui suatu prosedur penyelidikan dan penyidikan secara berimbang.
  6. Bahwa jika proses penyelidikan dan penyidikan bertentangan dengan hukum formil, maka setiap warga Negara yang merasa Hak Asasinya dilanggar itu, dapat menempuh jalan Praperadilan sebagai tempat dilaksanakannya upaya pengawasan secara horizontal terhadap pelaksanaan kesewenangan Penyidik;
  7. Bahwa praperadilan menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
  1. Bahwa kemudian Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan yang dimilikinya memperluas objek Praperadilan melalui Putusan Nomor: 21/ PUU - XII/ 2014 tentang penetapan tersangka serta dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 / PUU – XIII / 2015 tentang penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Bahwa atas dasar uraian di atas, yang menjadi dasar hukum Permohonan Praperadilan ini adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/ PUU - XII/ 2014 Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 / PUU – XIII / 2015  guna menguji keabsahan penetapan tersangka, serta Surat Perintah Penyidikan oleh TERMOHON terhadap diri PEMOHON.

                         TENTANG DUDUKNYA MASALAH

  1. HUBUNGAN HUKUM ANTARA PARA PEMOHON DAN TERMOHON
  1. Bahwa PARA PEMOHON yakni FRANS UNFETO dan SANTI MELLA dilaporkan ke Kepolisian Resor Timor Tengah Selatan pada tanggal 01 Oktober 2025 dalam dugaan Tindak Pidana Perzinahan SEBAGAIMANA Laporan Polisi No: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT;
  2. Bahwa selanjutnya PARA PEMOHON diperiksa sebagai saksi oleh TERMOHON pada hari kamis, tanggal 16 Oktoberber 2025. Setelah selesai diambil keterangan, TERMOHON lalu membawa PEMOHON SANTI MELLA melakukan Visum;
  3. Bahwa pada hari senin, tanggal 20 Oktober 2025, PARA PEMOHON diminta untuk wajib lapor masih pada tahap Penyelidikan ke bagian PPA POLRES TTS setiap hari Senin & Kamis oleh TERMOHON;
  4. Bahwa pada hari Sabtu, tanggal 1 November 2025, TERMOHON memberi pesan WhatsApp kepada PEMOHON FRANS UNFETO Pukul 18:40 Wita agar nanti pada hari senin, 3 November 2025 para Pemohon pergi ke POLRES TTS Unit PPA untuk menandatangani BAP;
  5. Bahwa PEMOHON FRANS UNFETO ditetapkan sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : Sp.Tap/130/XI/Res.1.24/2025/RESKRIM, Tertanggal 13 November 2025 dan PEMOHON SANTI MELLA ditetapkan sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : Sp.Tap/131/XI/Res.1.24/2025/RESKRIM, Tertanggal 13 November 2025;
  6. Bahwa selanjutnya pada hari Kamis, tanggal 20 November 2025 PARA PEMOHON untuk pertama kalinya diperiksa oleh TERMOHON sebagai TERSANGKA dalam dugaan Tindak Pidana “PERZINAHAN”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP untuk Santi Mella dan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP untuk Frans Unfeto berdasarkan Laporan Polisi No: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tertanggal 01 Oktober 2025;
  7. Bahwa sebelumnya PARA PEMOHON tidak pernah diambil keterangannya sebagai saksi pada Tahap Penyidikan oleh TERMOHON. PEMOHON baru diambil keterangan untuk pertama kalinya pada tahap Penyidikan ketika sudah berstatus sebagai TERSANGKA;
  8. Bahwa dengan demikian PARA PEMOHON memiliki hubungan hukum dengan TERMOHON dalam hal : TERMOHON telah menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA dalam dugaan tindak pidana “PERZINAHAN” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 Ayat (1) angka 2 huruf b KUHP untuk Santi Mella dan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP untuk Frans Unfeto;
  1. TERMOHON TIDAK MELAKUKAN SERANGKAIAN TINDAKAN PENYIDIKAN DALAM MENETAPKAN PARA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
  1. Bahwa dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP menegaskan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Secara gramatikal dapat ditafsirkan bahwa sebelum dilakukan penetapan tersangka harus didahului dengan serangkaian penyidikan dalam hal mencari dan mengumpulkan alat bukti dan dengan alat bukti dimaksud dapat membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Dikaitkan dengan perkara a quo yakni TERMOHON tidak memeriksa PARA PEMOHON sebagai saksi pada tingkat penyidikan seperti yang telah diperintahkan di dalam Putuan MK No. 21/PUU-XII/2024, hal ini terkesan bahwa TERMOHON tidak melakukan proses penyidikan dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA;
  2. Bahwa penetapan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA oleh TERMOHON dilakukan secara terburu-buru dan terindikasi TERMOHON tidak melakukan Proses Penyidikan dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA. Indikasi ini dapat dilihat dari cara kerja TERMOHON yang mana faktanya PARA PEMOHON tidak pernah diambil keterangan atau diperiksa terlebih dahulu sebagai Saksi di POLRES TTS sejak tanggal 24 Oktober 2025 sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan No : Sp.Dik/175/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON FRANS UNFETO dan Sp.Dik/175a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON SANTI MELLA, lalu bagaimana bisa pihak TERMOHON berkesimpulan bahwa  pelaku Perzinahan adalah PARA PEMOHON??
  3. Bahwa sangatlah penting keterangan Para PEMOHON diambil terlebih dahulu dalam proses penyidikan karena keterangannya adalah salah satu bagian yang Mutlak dipertimbangkan dalam Proses Pidana, hal ini senada dengan Pendapat seorang ahli asal Perancis bernama Paul Topinard yang membidangi ilmu Antropologi dan Viktimologi yang pada pokoknya menyatakan bahwa “keterangan Calon Tersangka akan menjadi bahan pertimbangan para penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim) dan juga bahan mempertimbangkan nuansa Yuridis tentang peran Calon Tersangka dalam suatu tindak pidana’’.;
  4. Bahwa dengan apa yang diketahui oleh PARA PEMOHON tersebut, sudah tentu sangat diharapkan bahwa akan memberikan keterangan yang dapat menjelaskan tentang suatu peristiwa pidana dan dengan keterangan itu maka lebih besar kemungkinan untuk dapat dilaksanakannya penegakan hukum pidana dan keterangan seorang calon Tersangka, cendrung memiliki kelebihan dibandingkan dengan saksi-saksi lainnya, ini karena Calon TERSANGKA tersebut memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendengar sendiri, melihat sendiri dan atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana;
  5. Bahwa dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP menegaskan bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan Peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri”. Pada pokoknya dapat ditafsirkan bahwa sebelum menetapkan seseorang sebagai TERSANGKA terlebih dahulu mengambil keterangan Calon TERSANGKA pada tahap penyidikan terlebih dahulu, Penyidik melakukan serangkaian tindakan penyidikan untuk mengumpulkan bukti berupa keterangan Saksi Korban dan Keterangan Calon TERSANGKA terlebih dahulu yang mana dengan bukti tersebut membuat terang suatu tindak pidana barulah menetapkan  PEMOHON sebagai TERSANGKA;
  6. Bahwa penetapan Para PEMOHON sebagai tersangka oleh TERMOHON dilakukan secara terburu-buru dan terindikasi TERMOHON tidak melakukan Proses Penyidikan dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA. Indikasi ini dapat dilihat dari cara kerja TERMOHON yang mana faktanya para PEMOHON baru diambil keterangan untuk Pertama kalinya pada tanggal 20 November 2025 dalam tahap Penyidikan saat PEMOHON FRANS UNFETO sudah berstatus sebagai TERSANGKA sebagaimana Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka No : Sp.Tap/130/XI/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 13 November 2025 dan PEMOHON SANTI MELLA sudah berstatus sebagai TERSANGKA sebagaimana Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka No : Sp.Tap/131/XI/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 13 November 2025. Hal ini jelas menunjukan TERMOHON tidak melakukan Penyidikan dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA;
  7. Bahwa dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP menegaskan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Secara gramatikal dapat ditafsirkan bahwa sebelum dilakukan penetapan tersangka harus didahului dengan serangkaian penyidikan dalam hal mencari dan mengumpulkan alat bukti dan dengan alat bukti dimaksud dapat membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya. Dikaitkan dengan perkara a quo yakni penerbitakan Surat Penetapan Tersangka dikeluarkan terlebih dahulu barulah TERMOHON mengambil keterangan PARA PEMOHON, hal ini menunjukan TERMOHON tidak melakukan proses penyidikan dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai Tersangka;
  8. Bahwa fakta Surat Penetapan TERSANGKA yang diterbitkan pada tanggal 13 November 2025 telah menunjukan penetapan TERSANGKA mendahului proses penyidikan. Pasal 1 angka 2 KUHAP jelas menegaskan bahwa dalam proses penyidikan tidak serta merta langsung menetapkan seseorang sebagai TERSANGKA. Penyidik harus terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan alat bukti terlebih dahulu barulah menetapkan seseorang sebagai tersangka dan bukan sebaliknya, menetapkan seseorang sebagai tersangka barulah melakukan penyidikan hal ini tentu bertentangan dengan amanat KUHAP;
  9. Bahwa mencermati ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP dimaksud di atas, dalam proses penyidikan tidak serta merta harus menentukan seseorang sebagai tersangka. Penetapan tersangka adalah konklusi dan/atau akumulasi dari adanya serangkaian tindakan penyidikan terlebih dahulu yakni mencari dan mengumpulkan alat bukti. Dalam perkara a quo harus ada tindakan pengumpulan alat bukti dalam proses penyidikan terlebih dahulu, karena alat bukti dimaksud adalah penuntutun untuk membuat terang peristiwa pidana dan menemukan Tersangkanya, namun jika faktanya TERMOHON tidak pernah mengambil keterangan PARA PEMOHON sebagai saksi pada tahap Penyidikan dan PARA PEMOHON sudah berstatus sebagai tersangka barulah diambil keterangannya pada tahap Penyidikan maka mengindikasikan TERMOHON tidak melakukan serangkaian tindakan penyidikan terlebih dahulu dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA;
  10. Bahwa dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP menyebutkan Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, yakni minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa penetapan Tersangka harus didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, artinya sebelum ditetapkan seseorang sebagai TERSANGKA harus ada minimal 2 (dua) alat bukti terlebih dahulu. Pengumpulan minimal 2 (dua) alat bukti dimaksud hanya dapat dilakukan dalam tahap penyidikan, karena dalam tahap penyidikan baru dapat dilakukan serangkaian tindakan penyidikan dengan mencari dan menemukan alat bukti sehingga membuat terang peristiwa pidana dan menemukan TERSANGKANYA. Untuk itu, jika faktanya dalam perkara a quo PARA PEMOHON tidak pernah diambil keterangan sebagai saksi dalam tahap Penyidikan tetapi hanya diambil keterangan pada saat berstatus sebagai TERSANGKA maka tindakan TERMOHON dimaksud sangatlah bertentangan dengan hukum yang berlaku karena Penetapan TERSANGKA yang dilakukan TERMOHON tidak didahului dengan serangkaian tindakan penyidikan;
  11. Bahwa proses penyidikan tidak bisa serta merta saat itu juga ditemukan tersangkanya karena harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti–bukti guna membuat terang tindak pidannya barulah kemudian menetapkan siapa tersangkanya. Indikasi ini dapat diketemukan dalam Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), mengapa dalam SPDP menyebutkan kata “Terlapor” dan bukan menyebutkan kata “TERSANGKA”, karena pembentuk Undang-Undang memahami benar bahwa saat SP.Sidik dikeluarkan tidak dibolehkan langsung menetapkan seseorang sebagai Tersangka, melainkan harus didahului dengan serangkan tindakan penyidikan yaitu mencari dan menemukan alat–alat bukti yang berkuantitas dan berkualitas;
  12. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Penetapan Status TERSANGKA terhadap PARA PEMOHON oleh TERMOHON dimaksud, adalah tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula proses penyidikan terhadap para PEMOHON serta tindakan-tindakan lainnya dalam penyidikan setelah adanya Penetapan Status TERSANGKA terhadap diri PARA PEMOHON adalah tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

 

  1. TERHOMON SETELAH MENETAPKAN PARA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA BARULAH TERMOHON MENCARI ALAT BUKTI
  1. Bahwa dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP menegaskan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
  2. Bahwa dari pengertian Penyidikan sebagaimana di atas dengan demikian Penetapan Tersangka adalah Tahap terakhir atau konklusi dari proses Penyidikan mengingat ada 3 serangkaian yang harus dilakuakn penyidik dalam proses penyidikan yakni : Mengumpulkan bukti, Membuat terang tindak pidana, Menemukan Tersangkanya;
  3. Bahwa melihat kasus a quo Termohon mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan No : Sp.Dik/175/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk Frans Unfeto dan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk Santi Mella akan tetapi TERMOHON tidak pernah memeriksa PARA PEMOHON sebagai saksi pada tahap Peyidikan kemudian Termohon mengeluarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON FRANS UNFETO sebagai Tersangka No: Sp.Tap/130/XI/Res.1.24/2025/Reskrim tertanggal 13 November 2025 dan Termohon mengeluarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON SANTI MELLA sebagai Tersangka No: Sp.Tap/131/XI/Res.1.24/2025/Reskrim tertanggal 13 November 2025, kemudian Termohon mengeluarkan surat Panggilan Tersangka ke - I (pertama) terhadap PEMOHON An. FRANS UNFETO dengan surat panggilan no: S.Pgl/Tsk.1/496/XI/2025/Reskrim tertanggal 13 November 2025 dan surat Panggilan Tersangka ke - I (pertama) terhadap PEMOHON SANTI MELLA dengan surat panggilan no: S.Pgl/Tsk.1/497/XI/2025/Reskrim tertanggal 13 November 2025, untuk didengar keterangan sebagai pada tanggal 18 November 2025;
  4. Bahwa dengan demikian jika mencermati point 3 diatas telah jelas dan nyata bahwa setelah TERMOHON Menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA Pada Tanggal 13 November 2025 barulah TERMOHON melakukan serangkaian tindakan Penyidikan berupa mengambil keterangan untuk pertama kalinya PARA PEMOHON pada tahap Panyidikan. Hal ini tentu bertentangan dengan pegertian Penyidikan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP;
  5. Bahwa oleh karena tindakan TERMOHON yang menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA barulah mencari alat bukti merupakan tindakan sewenang–wenang dan melanggar hukum  oleh karennya menurut hukum Penetapan para Pemohon sebagai TERSANGKA adalah adalah cacat hukum dan harusnya dibatalkan.
  1. TERMOHON TERLAMBAT MEMBERITAHUKAN DAN TERLAMBAT MEMBERIKAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) SERTA TERMOHON TIDAK MEMBERITAHUKAN DAN MEMBERIKAN SURAT PERINTAH PENYIDIKAN KEPADA PARA PEMOHON SESUAI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTOTUSI NOMOR: 130/PUU-XIII/2015
    1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 130/PUU/XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017, dalam bagian amar putusan angka 2 secara ekspresiff verbis menetapkan: “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Nomor: 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1995 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan;
    2. Bahwa pasca terdapat laporan polisi berkaitan dengan dugaan tindak pidana “Perzinahan” sebagaimana tertuang dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tanggal 01 Oktober 2025, maka Termohon menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk FRANS UNFETO dan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk SANTI MELLA;
    3. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi pada huruf a di atas diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 11 Januari 2017, apabila dilakukan interpretasi, maka pada tanggal 11 Januari 2017 tersebut putusan Mahkamah Konstitusi a quo langsung berlaku, sebab putusan Mahkamah Konstitusi berlaku pada saat diucapkan (prospektif). Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan Perkara  a quo terbitnya Surat Perintah Penyidikan di atas dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi telah diucapkan sebelum diterbitkannya surat perintah penyidikan atas diri Para Pemohon, sehingga mutatis-mutantis Termohon WAJIB memberitahukan dan menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan serta Surat Perintah Penyidikan kepada Para Pemohon sebagai terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi”;
    4. Bahwa kewajiban pemberitahuan dan penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan serta Surat Perintah Penyidikan terhadap PARA PEMOHON sebagai Terlapor berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 130/PUU/-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017, halaman 147 adalah untuk PARA PEMOHON dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan diri yang sangat penting dalam hukum acara pidana;
    5. Bahwa akan tetapi, setelah TERMOHON menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk FRANS UNFETO dan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk SANTI MELLA, terlambat memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi di atas, TERMOHON baru memberikan SPDP kepada PEMOHON 16 hari setelah SPDP diterbitkan serta Termohon tidak pernah memberitahukan maupun memberi Surat Perintah Penyidikan kepada PARA PEMOHON, faktanya TERMOHON juga tidak pernah memberitahukan dan menyerahkannya kepada PARA PEMOHON sebagai Terlapor sebagaimana amar putusan Mahkamah Konsitusi;
    6. Bahwa oleh karena itu, terdapat 2 (dua) tindakan TERMOHON yang bertentangan dengan hukum acara pidana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 130/PUU/-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017, yakni, PERTAMA, TERMOHON terlambat memberikan 2 (dua) SPDP pasca menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No:SPDP/159/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON Frans Unfeto dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No:SPDP/159a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON Santi Mella sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi, dan KEDUA: dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah terbit Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON FRANS UNFETO dan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON SANTI MELLA, TERMOHON tidak pernah memberitahukan atau memberikan kepada PARA PEMOHON dan TERMOHON terlambat memberikan dan memberitahukan kepada PARA PEMOHON Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No:SPDP/159/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON FRANS UNFETO dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No:SPDP/159a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON SANTI MELLA sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi a quo;

 

  1. DUGAAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN PARA PEMOHON SUDAH DALUWARSA
    1. Bahwa Daluwarsa tindak Pidana adalah batas waktu penuntutan yang ditentukan undang-undang akan suatu dugaan tindak pidana yang menyebabkan hak untut menuntut dan melaksanakan hukuman menjadi gugur. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian karena dengan berjalannya waktu, bukti sulit ditemukan dan ingatan saksi memudar;
    2. Bahwa dalam jangka waktu lebih dari 6 (enam) tahun maka suatu peristiwa yang diduga sebagai peristiwa Perzinahan tidak dapat dilaporkan karena telah “Daluwarsa” sebagaimana termuat dalam pasal 78 KUHP;
    3. Bahwa perlu digali lebih dalam mengenai apa itu daluwarsa tindak pidana? Dalam Pasal 78 KUHP (1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
      1. Mengenai semua pelanggaran karena kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
      2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
      3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
      4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;

Ayat (2) bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masingtenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga;

  1. Bahwa hal ini senada dengan penjelasan Prof. Dr. Topo Santoso, S.H.,M.H., Daluwarsa dalam hukum pidana dengan dasar atau alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Dengan berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian yang ada telah hilang, sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan bukti kemungkinan telah lenyap;
  2. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus-menerus mengejar/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/delik itu dan ingatan manusia terhadapnya juga semakin menipis;
  3. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik.
    1. Bahwa Pernyataan ini juga didukung oleh Jaksa Agung Muda Feri Wibisono, S.H., M.H., masa Daluwarsa memiliki tujuan agar adanya kepastian hukum terhadap penanganan suatu perkara. Apabila tidak ada ketentuan yang mengatur masa daluwarsa maka ketentuan tersebut menjadi tidak efektif dan sulit dilaksanakan, karena tidak ada kepastian bagi masyarakat dalam penyelesaian suatu perkara;
    2. Bahwa dalam hal suatu perbuatan sudah daluwarsa maka tidak dapat lagi dituntut kehadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidanannya yang dilakukan pada masa lalu;
    3. Bahwa berdasarkan surat Laporan Polisi No: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tertanggal 01 Oktober 2025, Jika dihitung dari awal kejadian tahun 2016 sampai dengan tahun 2025 maka kasus a quo ini sudah daluwarsa sesuai dengan ketentuan Pasal 78 KUHP (1) : “Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun” dianggap telah daluwarsa. Dengan demikian surat Laporan Polisi: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tertanggal 01 Oktober 2025 Harus Ditolak atau tidak dapat diterima;
    4. Bahwa selanjutnya berdasarkan konstruksi hukum diatas maka perlu juga digali lebih dalam mengenai apa itu Laporan? Dalam KUHAP Pasal 1 butir 24 Laporan adalah “Pemberitahuan yang di sampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”. Bahwa dari unsur telah terjadi peristiwa pidana, atau sedang terjadi peristiwa pidana, atau diduga akan terjadi peristiwa pidana, tidak ditemukan peristiwa yang diduga peristiwa pidana karena telah melewati masa daluwarsa suatu Dugaan Tindak Pidana;
    5. Bahwa berdasarkan uraian diatas maka TERMOHON tidak berwenang menerima laporan ini karena peristiwa ini sudah daluwarsa secara hukum;
    6. Bahwa TERMOHON seharusnya mengeluarkan SP2LIK pada saat Penyelidikan sebab peristiwa ini bukan merupakan tindak pidana oleh karena daluwarsa atau TERMOHON seharusnya mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) oleh karena daluwarsa tindak pidana;
    7. Bahwa oleh karena tindakan TERMOHON yang menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA tanpa mencari tahu mempertimbangkan Mawa Daluwarsa suatau Peristiwa Pidana maka tindakan yang dilakukan oleh Termohon merupakan tindakan yang sewenang–wenang dan melanggar hukum  oleh karenanya menurut hukum, Penetapan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA adalah adalah cacat hukum dan harusnya dibatalkan.

 

  1. ALAT BUKTI YANG DIPAKAI TERMOHON UNTUK MENETAPKAN PARA PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA ADALAH ALAT BUKTI YANG TIDAK BERKUALITAS.

 

  1. Bahwa kekuatan alat bukti dalam menyelesaikan perkara pidana sangat penting bagi siapa saja. Kekuatan alat bukti sangat membantu para penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana karena tanpa adanya alat bukti, suatu perkara pidana tidak bisa diselesaikan secara mutlak. Sebaliknya dengan kekuatan alat bukti, maka para penyidik akan memeriksa perkara pidana secara mendetail dan sejelas-jelasnya;
  2. Bahwa seorang pakar Hukum, Soedjono dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Pidana” mengatakan: “adanya alat bukti bertujuan untuk melindungi kepentingan Hukum setiap individu di dalam masyarakat dan atau melindungi masyarakat secara keseluruhan”;
  3. Bahwa dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah ialah: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan keterangan Terdakwa. Dengan adanya alat-alat bukti ini memudahkan Aparat Penegak Hukum untuk mengusut tuntas suatu perkara pidana  secara terang-benderang;
  4. Bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka penyidik harus mempunyai minimal 2 alat bukti yang kuat. Kata alat bukti yang kuat ialah Prima Facie Evidencie, atau alat bukti yang paling menentukan, artinya bahwa dengan dua alat bukti saja tidak cukup meneruskan perkara sampai ke Pengadilan. karena, alat bukti itu harus mempunyai kualitas yang menentukan. Pandangan ini menegaskan bahwa kualitas alat bukti sangatlah penting bukan kuantitas atau jumlah, dikarenakan untuk mengukur kualitas alat bukti, dalam praktek peradilan kita, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1259 tahun 2010, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kualitas alat bukti adalah relevansi dari keterangan-ketarangan dan bukti-bukti itu terhadap unsur tindak pidana yang disangkakan;
  5. Bahwa yang diperlukan dalam penetapan tersangka adalah kualitas bukan kuantitas, kalau hanya pada aspek kuantitas disebut kalkulator. Bahwa dalam pemahaman soal alat bukti tersebut yang paling penting adalah kualitas, jika melihat keterangan dari doctor Chairul Huda ketika memberikan keterangan di Mahkamah Agung yang menyatakan “…walaupun sudah diperiksa 1.000 (seribu) saksi dia tetap 1 (satu) alat bukti…”, untuk itu walaupun sudah dapat 3 (tiga) alat bukti, jika tidak berkualitas jangan, itu esensi dari keadilan substantive. Untuk itu, Termohon tidak boleh hanya melihat pada aspek kuantitas, melainkan pada aspek kualitas dan relevansi dengan unsur-unsur pasal persangkaan;
  6. Bahwa ketika seorang penyidik menetapkan seorang tersangka dengan alat bukti yang tidak berkualitas tindakan tersebut salah karena KUHAP menghendaki adanya bukti yang berkualitas tidak hanya berkuantitas, barulah kemudian tetapkan orang sebagai tersangka, hal ini ditegaskan lagi paska Putusan MK, tidak hanya sekedar alat bukti, melainkan minimal dua alat bukti yang berkualitas serta relevan;
  7. Bahwa melihat kasus a quo TERMOHON menetapkan PARA PEMOHON sebagai TAERSANGKA hanya dengan minimal 2 (dua) alat bukti. Bahwa penetapan tersangka dengan minimal 2 (dua) alat bukti Parameternya ada 3 yakni: 1) Alat bukti yang sah berarti jenis alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP; 2) Alat bukti yang cukup harus memiliki korelasi dan tidak boleh berdiri sendiri 3) alat bukti yang kuat maka alat bukti itu harus berkualitas dan relevan dengan Pasal yang disangkakan;
  8. Bahwa Termohon terlalu terburu-buru dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA tanpa mencari tahu secara mendalam awal mula kejadian, apakah kejadian sudah lebih 8 tahun ataukah 9 tahun lalu sehingga sangat tidak berkualitas bukti yang dipakai untuk menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA. TERMOHON hanya berpatokan pada hasil Visum Et Repertum baru pada tahun 2025 yang mana dengan bukti Visum ini sebenarnya sangat tidak relevan dengan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP;
  9. Bahwa oleh karena tindakan TERMOHON yang menetapkan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA tanpa mencari tahu alat bukti yang berkualitas maka tindakan yang dilakukan oleh TERMOHON merupakan tindakan yang sewenang–wenang dan melanggar hukum  oleh karenanya menurut hukum, Penetapan PARA PEMOHON sebagai TERSANGKA adalah adalah cacat hukum dan harusnya dibatalkan.

Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum PARA PEMOHON memohon agar Yang Mula Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo  berkenan menjatuhkan Putusan dengan amar sebagai berikut :

  1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan PARA PEMOHON untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan TERMOHON dalam menetapkan PARA PEMOHON sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana “PERZINAHAN” sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP untuk Frans Unfeto dan pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP untuk Santi Mella berdasarkan Laporan Polisi No: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tertanggal 01 Oktober 2025 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan TERSANGKA a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan Tidak Sah Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : Sp.Tap/130/XI/Res.1.24/2025/RESKRIM, Tertanggal 13 November 2025 terhadap diri PEMOHON FRANS UNFETO dan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : Sp.Tap/131/XI/Res.1.24/2025/RESKRIM, Tertanggal 13 November 2025 terhadap diri PEMOHON SANTI MELLA;
  4. Menyatakan Tidak Sah surat yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang didasari oleh surat Laporan Polisi No: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tertanggal 01 Oktober 2025 dan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON FRANS UNFETO dan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/175a/X/Res.1.24/2025/Reskrim, tertanggal 24 Oktober 2025 untuk PEMOHON SANTI MELLA berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri PARA PEMOHON oleh TERMOHON;
  5. Menyatakan dugaan Tindak Pidana “PERZINAHAN” sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP untuk Frans Unfeto dan pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b KUHP untuk Santi Mella berdasarkan Laporan Polisi No: LP/B/404/X/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT, tertanggal 01 Oktober 2025 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karena telah DALUWARSA;
  6. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan kepada PARA PEMOHON;
  7. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk segara menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap diri PARA PEMOHON;
  8. Memulihkan hak PARA PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  9. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar nihil.

PARA PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Kelas II Soe yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Kelas II Soe yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Soe, 4 Desember 2025

 

Hormat Kuasa Hukum  PARA PEMOHON,

 

 

ARNOLDUS MANO, S.H

 

 

EGIARDUS BANA, S.H.,M.H

 

 

MARIO M. KEBO, S.H

 

 

JEREMIAS F. BANI, S.H

 

 

DOMINIKUS G. BOYMAU, S.H

Pihak Dipublikasikan Ya