Petitum Permohonan |
Perihal: Permohonan Praperadilan
Kepada
Yth. Ketua Pengadilan Negeri So’e
Di
So’e
Dengan Hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Dr. MELKIANUS NDAOMANU, SH.,M.Hum
Dr. YANTO M.P. EKON, S.H.,M.Hum
RIAN VAN FRITS KAPITAN, SH.,MH
Semuanya Advokat/Penasihat Hukum pada Kantor Advokat “Dr. MELKIANUS NDAOMANU, SH.,M.Hum & Rekan”, Jln. Tidar, RT.052/RW.017, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 07 Januari 2019 sebagaimana terlampir dan karena itu baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama:
THIMOTIUS TAPATAB
Umur: 55 tahun/17-05-1964, Jenis Kelamin:Laki-Laki, Pekerjaan:Wiraswasta, Kewarganegaraan: Indonesia, Agama: Kristen, Beralamat di: Jalan Proklamasi, RT.003/RW.002, Kelurahan/Desa Taueneno, Kecamatan Kota So’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan, selanjutnya disebut PEMOHON;
Dengan ini Pemohon, hendak mengajukan permohonan praperadilan terhadap:
KEPALA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA, cq. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI NUSA TENGGARA TIMUR, cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SO’E selaku PENYIDIK, Bertempat kedudukan di: Taubneno, Kota So,e, Kabupaten Timor Tengah Selatan, selanjutnya disebut: TERMOHON
- DASAR HUKUM PERMOHONAN
- Bahwa dasar hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menetapkan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”
- Bahwa selanjutnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan Putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 dengan amarnya antara lain menyatakan “Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor: 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan”;
- Bahwa, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan menetapkan: “Obyek Praperadilan adalah:
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
- Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”;
- OBYEK PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa, obyek praperadilan yang dimohonkan untuk diperiksa dalam permohonan ini adalah:
- Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor: Print .06/P.3.11/fd./12/2018, tanggal 7 Desember 2018 Jo. Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri So’e Nomor: Print-03/P.3.11/Fd.1/5/2017, tanggal 09 Mei 2017, yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka;
- Bahwa oleh karena obyek dari permohonan praperadilan ini adalah menyangkut Penetapan Pemohon sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah dari Termohon tersebut maka berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan termasuk dalam obyek praperadilan yang menjadii kewenangan Pengadilan Negeri So,e untuk memeriksa dan mengadilinya.
- ALASAN-ALASAN PERMOHONAN
- Bahwa pada tanggal 07 Desember 2018, Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengawasan Teknis Pembangunan Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015;
- Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka dari Kejaksaan Negeri So’e Nomor: Print 06/P.3.11/fd./12/2018, tanggal 7 Desember 2018 Jo. Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri So’e Nomor: Print-03/P.3.11/Fd.1/5/2017, tanggal 09 Mei 2017. Surat Perintah Penetapan Tersangka terhadap Pemohon diketahui oleh Pemohon melalui Surat Khabar Victory News, tanggal 8 Desember 2018 (Bukti P-1);
- Bahwa ketentuan hukum yang disangka dilanggar oleh Pemohon adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
- Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menetapkan “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menetapkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”;
- Bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dipandang telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah:
- Unsur Setiap Orang;
- Unsur Secara Melawan Hukum;
- Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
- Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selanjutnya unsur-unsur dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah:
- Unsur Setiap Orang;
- Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
- Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
- Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
- Bahwa penetapan seseorang sebagai Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana, yang memenuhi unsur-unsur dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, haruslah didasarkan atau didahului adanya“bukti permulaan” atau “bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 2 KUHAP menetapkan “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Demikian pula Pasal 1 angka 14 KUHAP menetapkan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
- Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, halaman 98 menyatakan “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP haruslah ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Hal ini berarti terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemeriksaan tersangka disamping dua alat bukti tersebut adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang, agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik dalam menentukan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik dalam menentukan seseorang sebagai Tersangka (Bukti P-2);
- Bahwa meskipun Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 mewajibkan penetapan tersangka harus didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” yakni minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP disertai dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Namun Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015, berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor: Print 06/P.3.11/fd./12/2018, tanggal 7 Desember 2018 Jo. Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri So’e Nomor: Print-03/P.3.11/Fd.1/5/2017, tanggal 09 Mei 2017 tidak didasarkan adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” “bukti yang cukup”, melainkan penetapan Pemohon sebagai Tersangka semata-mata hanya didasarkan atas tindakan sewenang-wenang dari Termohon;
- Bahwa Penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam Proyek Pengawasan teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015, tidak didasari “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup”, melainkan didasari tindakan sewenang-wenang atau tindakan yang melampaui batas kewenangan oleh Termohon dapat dibuktikan melalui 2 (dua) hal, yaitu:
Pertama:
|
Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Tidak Didasari Bukti Permulaan Yang Cukup Mengenai Hubungan Hukum antara Pemohon dengan Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Tahun 2015
|
|
Penetapan Tersangka Tidak Didasari Bukti Permulaan Yang Cukup Tentang Nilai Kerugian Keuangan Negara
|
- FAKTA-FAKTA KESEWENANGAN TERMOHON DALAM PENETAPAN TERSANGKA
- Penetapan Tersangka Tidak Didasari Bukti Permulaan Yang Cukup Mengenai Hubungan Hukum antara Pemohon dengan Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015 ;
- Bahwa Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 mewajibkan penetapan tersangka harus didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” yakni minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP yang telah ditemukan oleh penyidik;
- Bahwa prosedur untuk memperoleh “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, atau “bukti yang cukup” berupa minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP tersebut, Termohon selaku Penyidik seharusnya berpedoman pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menetapkan: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, maka prosedur penyidikan yang benar adalah harus melalui dua tahapan, yaitu pertama, mencari dan menemukan minimal 2 alat bukti yang sah dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 dan kedua, menemukan dan menetapkan tersangkanya;
- Bahwa akan tetapi tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon sampai dengan penetapan Pemohon sebagai Tersangka, tidak sesuai atau bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP sebab Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa didasari bukti permulaan yang cukup tentang dasar hubungan hukum antara Pemohon dengan Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015;
- Bahwa bukti-bukti permulaan yang telah dimiliki oleh Termohon berupa Surat Perjanjian Jasa Konsultasi (Kontrak) Nomor: PU.600.602.1/870/X I/2015, tanggal 5 November 2015 (Dokumen Penawaran ,Usulan Teknis Pekerjaan Pengawasan Teknis Embung Paket II Tahun 2015, Surat Perintah Mulai Kerja dan dokumen-dokumen lainnya (Bukti P-3), Laporan Kemajuan Fisik Pekerjaan Pembangunan Embung Mnelalete berupa Laporan Mingguan (Bukti P-4), Laporan Bulanan (Bukti P-5), Laporan Akhir (Bukti P-6), dan Berita Acara Pemeriksaan Fisik Pekerjaan Pembangunan Embung Mnelalete Tanggal 10 Februari 2016 oleh Inspektorat Kabupaten Timor Tengah Selatan (Bukti P-7), telah membuktikan bahwa Pemohon tidak memiliki hubungan hukum apapun dengan Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015;
- Bahwa sebaliknya berdasarkan Surat Perjanjian Jasa Konsultasi (Kontrak) Nomor: PU.600.602.1/870/X I/2015, tanggal 5 November 2015 (Dokumen Penawaran ,Usulan Teknis Pekerjaan Pengawasan Teknis Embung Paket II Tahun 2015, Surat Perintah Mulai Kerja dan dokumen-dokumen lainnya (Bukti P-3), Laporan Kemajuan Fisik Pekerjaan Pembangunan Embung Mnelalete Berupa Laporan Mingguan (Bukti P-4), Laporan Bulanan (Bukti P-5), Laporan Akhir (Bukti P-6), dan Berita Acara Pemeriksaan Fisik Pekerjaan Pembangunan Embung Mnelalete Tanggal 10 Februari 2016 oleh Inspektorat Kabupaten Timor Tengah Selatan (Bukti P-7), secara nyata telah membuktikan, yang memiliki hubungan hukum dalam pekerjaan Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015 adalah Ir.Aleksius D. Richardson selaku Direktur PT. Siarplan Utama Konsultan dan Yeheskial Ndun,S.T selaku Site Engginering PT. Siarplan Utama Konsultan;
- Bahwa dengan demikian berdasarkan Surat Perjanjian Jasa Konsultasi (Kontrak) Nomor: PU.600.602.1/870/X I/2015, tanggal 5 November 2015 (Dokumen Penawaran ,Usulan Teknis Pekerjaan Pengawasan Teknis Embung Paket II Tahun 2015, Surat Perintah Mulai Kerja dan dokumen-dokumen lainnya (Bukti P-3), Laporan Kemajuan Fisik Pekerjaan Pembangunan Embung Mnelalete Berupa Laporan Mingguan (Bukti P-4), Laporan Bulanan (Bukti P-5), Laporan Akhir (Bukti P-6), dan Berita Acara Pemeriksaan Fisik Pekerjaan Pembangunan Embung Mnelalete Tanggal 10 Februari 2016 oleh Inspektorat Kabupaten Timor Tengah Selatan (Bukti P-7), seharusnya Termohon tidak sampai menetapkan Pemohon sebagai Tersangka sebab Pemohon tidak memiliki hubungan hukum secara formil dengan Pekerjaan Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015. Namun karena Termohon secara sewenang-wenang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, sehingga tindakan Termohon tersebut telah bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
- Penetapan Tersangka Tidak Didasari Bukti Yang Cukup Tentang Nilai Kerugian Keuangan Negara
- Bahwa salah satu unsur esensial atau inti dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang telah disangkakan kepada Pemohon adalah “unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;
- Bahwa menurut penjelasan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kata “dapat” diartikan tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Demikian pula menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 003/PUU-IV/2006, hal 51, kata “dapat merugikan keuangan negara” dalam hubungannya dengan asas kepastian hukum dalam melindungi hak seseorang tergambar 2 (dua) hubungan yang ekstrim yaitu: pertama, nyata-nyata merugikan keuangan negara atau kedua, kemungkinan dapat menimbulkan kerugian negara. Hal yang kedua ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Diantara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang belum nyata terjadi tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkrit disekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan “kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian”;
- Bahwa akan tetapi pada tanggal 25 Januari 2017, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menjatuhkan Putusan Nomor: 25/PUU-XIV/2016, yang menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, kerugian negara yang timbul akibat perbuatan melanggar hukum haruslah bersifat nyata dan pasti sebagaimana dimaksud Pasal 1 butir 22 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang menetapkan “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja atau lalai”.
- Bahwa lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 25/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017 secara tegas menyatakan “…….berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 22 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materil, yakni suatu perbuatan dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan konsepsi kalimat “secara nyata telah ada kerugian negara” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya, yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”;
- Bahwa dengan demikian setelah dijatuhkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017, maka delik formil pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berubah menjadi delik materil, sehingga perbuatan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut ketentuan pasal ini adalah perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara yang jumlahnya bersifat nyata dan pasti. Jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang jumlahnya bersifat nyata dan pasti tersebut, haruslah didasarkan atas perhitungan oleh ahli dari instansi pemerintah yang diberikan kewenangan konstitusional untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menurut Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Jo. Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016;
- Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 mewajibkan penetapan tersangka harus didasarkan atau didahului adanya “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” yakni minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP yang telah ditemukan oleh penyidik. Selanjutnya menurut Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 55/PID/Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 9 Juli 2015, halaman 90 bahwa “yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup apabila dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP ………….yang cukup dapat membuktikan unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada tersangka”.
- Bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jo. Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 serta Putusan Praperdilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 55/PID/Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 09 Juli 2015 maka satu-satunya alat bukti permulaan yang dapat membuktikan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
- Bahwa akan tetapi penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon, sama sekali tidak didasari adanya Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat/Instansi Pemerintah yang berwenang. Ketiadaan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara oleh Termohon sebagai dasar penetapan tersangka atas diri Pemohon sangat jelas merupakan tindakan sewenang-wenang yang melanggar Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014 dan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 55/PID/Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 09 Juli 2015. Bentuk pelanggaran dari Termohon terhadap ketentuan hukum tersebut adalah Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tanpa didasari alat bukti permulaan yang cukup mengenai jumlah kerugian keuangan negara yang bersifat nyata dan pasti;
- PENUTUP
Berdasarkan alasan yuridis dan fakta sebagaimana diuraikan diatas, maka melalui permohonan ini, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri So’e dan/atau Hakim yang ditetapkan memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan ini, agar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya, sebagai berikut:
- Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan hukum bahwa Penetapan Pemohon (THIMOTIUS TAPATAB) sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor: Print 06/P.3.11/fd./12/2018, tanggal 7 Desember 2018 Jo. Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri So’e Nomor: Print-03/P.3.11/Fd.1/5/2017, tanggal 09 Mei 2017, terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak memiki kekuatan hukum yang mengikat;
- Menyatakan hukum bahwa segala hasil penyidikan yang dilakukan oleh Termohon Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengawasan Teknis Embung Mnelalete, Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2015 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, karenanya segala hasil penyidikan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
- Menyatakan hukum bahwa penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah dan batal atau dibatalkan demi hukum;
- Menyatakan tidak sah segala putusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon dan yang sifatnya merugikan Pemohon;
- Membebankan biaya perkara yang timbul kepada negara.
Atau Mohon putusan yang seadil-adilnya.
Demikianlah permohonan ini, kami ajukan dan atas segala pertimbangan hukumnya tidak lupa kami ucapkan limpah terima kasih.
|