Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SOE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Soe Yohan E. Takesan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 28 Apr. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Soe
Tanggal Surat Selasa, 28 Apr. 2020
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Yohan E. Takesan
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Perihal  : PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Kepada,

Yth.KETUA PENGADILAN NEGERI SO”E KELAS II

di _

So”E                  

 

Dengan hormat,

Kami yang bertandatangan dibawah ini  :-----------------------------------------------------------------------------------

  1. AMOS ALEKSANDER LAFU, SH
  2. OBEDNEGO A.R DJAMI, SH
  3. PETRUS UFI, SH
  4. EGIARDUS BANA, SH., MH
  5. SWASTIKA PRADINI HAKIM, SH., MH
  6. ARMAN TANONO, SH

Keenamnya adalah Advokat pada Kantor Advokat“AMOS ALEKSANDER LAFU, SH & REKAN” beralamat di Jln. Mahoni I RT.023/RW.010, Kel.Oepura, Kec.Maulafa, Kota Kupang–NTT, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : 18/SKK/ALR-PRAPID/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 yang telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri SoE Kelas II dibawah register Nomor : ……./SK-Pid/ HK/2020/PN.Soe tanggal 28 April 2020, bertindak untuk dan atas nama : YOHAN E. TAKESAN, NIK.5371020307880004,TTL : SoE, 03 Juli 1988, Umur 31 Tahun, Agama Kristen, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Karyawan Honorer, Pendidikan Sarjana, Alamat : RT,001/RW.001, Kelurahan Nonohonis, Kecamatan Kota So”E, Kabupaten Timor Tengah Selatan; membuat dan menandatangani permohonan ini, untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON PRAPERADILAN.----------------------------

 

Bahwa PEMOHON PRAPERADILAN hendak mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap :----------

KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH NUSA TENGGARA TIMUR Cq. KEPALA KEPOLISIAN RESOR TIMOR TENGAH SELATAN Cq. KEPALA SATUAN RESERSE DAN KRIMINAL POLRES TIMOR TENGAH SELATAN SELAKU PENYIDIK, yang beralamat di Jln. Gajah Mada, Kelurahan Karang Sirih, Kecamatan Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan–Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya disebut sebagai TERMOHON  PRAPERADILAN.---------------------------------------------------------------------------------------

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN.
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai buah perjuangan seluruh rakyat Indonesia, didirikan dengan tujuan yang luhur untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta berlandaskan keadilan sosial. Demi tujuan itulah, bangsa Indonesia membentuk dan menyusun suatu Pemerintahan Indonesia, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang termaktub di dalam Alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam rangka itu, sejak semula berdirinya Negara Indonesia, telah diletakkan suatu landasan negara yang ideal, sebagaimana Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia berlandaskan hukum (rechstaat), bukan kekuasaan (machstaat)”;
  2. Bahwa sebagai Negara Hukum (rechstaat), maka setiapwarga Negara wajib mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa ada pengecualian (Equality before the Law), sebagaimana tereksplisit dalam Ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945;
  3. Bahwa penegakkan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana termasuk Upaya Paksa (DwangMiddelen) yang dilaksanakan oleh Aparatur Penegak Hukum untuk mengungkap suatu dugaan tindak pidana, tetaplah dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip Due Process of Law,  yakni hukum ditegakkan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Umum, sekaligus tetap memperhatikan Hak Asasi warga Negara agar tidak boleh dirampas, dihilangkan dan/atau diabaikan begitu saja atas nama hukum;
  4. Bahwa prinsip Due Process of Law adalah manifestasi dari adanya penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pihak yang melekat pada hakekat dan keberadaan setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan menjamin tegaknya hak itu dengan melarang dan mencegah Setiap Perbuatan Apa Saja Atas, Dasar Alasan Apa Pun, Dan OlehSiapa Pun Juga agar tidak bertentangan dengan HAM, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusiayang menyatakan bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”;
  5. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Hukum Formil, diadakan dengan tujuan agar penyelenggaraan Peradilan Pidana dapat menghadirkan suatu kebenaran materill, yakni suatu kebenaran yang sebenar-benarnya tanpa keragu-raguan yang beralasan (the truth without a reasonable doubt). Kebenaran Materiil hanya dapat diperoleh dari adanya alat-alat bukti yang sah, yang diperoleh dan ditentukan melalui suatu prosedur penyelidikan dan penyidikan secara berimbang;
  6. Bahwa jika proses penyelidikan dan penyidikan bertentangan dengan hukum formil, maka setiap warga Negara yang merasa Hak Asasinya dilanggar itu, dapat menempuh jalan Praperadilan sebagai tempat dilaksanakannya upaya pengawasan secara horizontal terhadap pelaksanaan kesewenangan Penyidik;
  7. Bahwa Praperadilan menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
  1. Bahwa kemudian Mahkamah Konstitusi RI berdasarkan kewenangan yang dimilikinya memperluas Objek Praperadilan melalui 2 (dua) Putusan yang dikeluarkannya yakni Putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka dan Putusan Nomor : 130/PUU–XIII/2015 tentang Ketentuan Penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP);
  2. Bahwa berdasarkan uraian tentang hubungan hukum dan dasar hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar hukum Permohonan Praperadilan ini adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni Pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 21/PUU-XII/ 2014 Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 130/PUU–XIII/2015 guna menguji keabsahan penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, Surat Perintah Penyidikan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan oleh TERMOHON terhadap diri PEMOHON;

 

  1. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN / DUDUK MASALAHNYA
  1. Bahwa PEMOHON adalah seorang Karyawan Honorer pada Kantor Dinas Perhubungan Kab. Timor Tengah Selatan yang pernah menjalin hubungan asmara dengan DESI SEO dalam kurun waktu September – Nopember 2019, kemudian hubungan itu berakhir atas permintaan DESI SEO sendiri yang mengatakan akan segera menikah dengan Calon Suaminya ABE LAKE in casu PELAPOR sehingga terhitung sejak Nopember 2019, PEMOHON tidak lagi memiliki hubungan asmara/berkomunikasi dengan DESI SEO sampai dengan munculnya persoalan ini;
  2. Bahwa pada tanggal 05 Maret 2020, PELAPOR ABE LAKE in casu Calon Suami DESI SEO membuat Laporan Polisi terkait Dugaan Percobaan Tindak Pidana Aborsi dengan Nomor : LP / 56 / III / 2020 / Polres TTS dan oleh TERMOHON pada hari itu juga tanpa terlebih dahulu melakukan Tahapan Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 5 KUHAP yakni : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU ini”, termasuk didalamnya melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Saksi-Saksi / Calon Tersangka in casu PEMOHON oleh TERMOHON langsung mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp – Dik / 30 / III / 2020 / Reskrim tertanggal 05 Maret 2020 dan menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka;
  3. Bahwa tindakan TERMOHON yang langsung menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA di hari yang sama dengan waktu pembuatan Laporan Polisi yakni tanggal 05 Maret 2020 membuktikan bahwa Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON tersebut dilakukan secara tergesa-gesa dan sewenang-wenang serta tanpa bukti permulaan yang cukup yakni sekurang–kurangnya 2 (dua) sehingga tindakan TERMOHON tersebut telah jelas bertentangan dengan KUHAP serta prinsip Penegakan Hak Asasi Manusia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi RI yang termuat melalui Putusan Nomor : 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka yakni : “bahwa bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, yang selanjutnya menurut Mahkamah agar memenuhi asas kepastian hukum yang  adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D Ayat(1)  UUD 1945  serta memenuhi Asas Lex Certa dan Asas Lex Stricta dalam Hukum Pidana maka frasa “bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan/atau bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Ayat(14), Pasal 17 dan Pasal  21 Ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184  KUHAP yakni Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa dan disertai dengan “Pemeriksaan Calon Tersangka” kecuali terhadap tindak pidana yang Penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadiran Tersangka (In Absentia)”. Dengan demikian telah jelas bahwa tindakan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp – Dik / 30 / III / 2020 / Reskrim tertanggal 05 Maret 2020 adalah CACAT HUKUM karena tanpa didahului dengan pemeriksaan PEMOHON sebagai Calon Tersangka;
  4. Bahwa hal lain yang janggal adalah penetapan Tersangka atas diri PEMOHON oleh TERMOHON tanpa didasarkan dengan Alat Bukti Surat Visum Et Repertum (VER) padahal tindak pidana yang dituduhkan kepada PEMOHON seyogyanya sangat membutuhkan Visum Et Repertum untuk membuat terang tindak pidana dimaksud sehingga jelas perbuatan TERMOHON sangatlah bertentangan dengan prosedur hukum acara yang berlaku;
  5. Bahwa kemudian setelah menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA pada tanggal 5 Maret 2020, secara tiba–tiba pada keesokan harinya tanggal 06 Maret 2020 dengan tanpa membawa Surat Perintah Penangkapan, Surat Tugas serta tanpa pemberitahuan/informasi kepada Pimpinan tempat PEMOHON bekerja, TERMOHON melakukan Upaya Paksa Penangkapan terhadap PEMOHON di Kantor Dinas Perhubungan Kab.TTS dan selanjutnya TERMOHON membawa PEMOHON ke Kantor Kepolisian Resor TTS lalu diperiksa sebagai TERSANGKA dalam perkara Dugaan Tindak Pidana Percobaan Aborsi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 77A Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 348 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1e KUHP;
  6. Bahwa selanjutnya di Kantor TERMOHON, PEMOHON diperiksa oleh TERMOHON dengan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pasal 54 KUHAP yakni : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka / terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam Undang–Undang ini”. Pun demikian oleh TERMOHON tidak pernah menjelaskan kepada PEMOHON tentang Haknya untuk mendapatkan Bantuan Hukum sehingga jelas perbuatan TERMOHON tersebut sangatlah bertentangan dengan hukum dan merugikan Hak PEMOHON;
  7. Bahwa selain melakukan Upaya Paksa Penangkapan, TERMOHON juga melakukan Upaya Paksa Penahanan terhadap diri PEMOHON yang mana kedua tindakan upaya paksa oleh TERMOHON tersebut didasarkan pada Surat Perintah Penangkapan Nomor Pol. : Sp – Kap / 24 /III / 2020 / Reskrim tertanggal 06 Maret 2020 dan Surat Perintah Penahanan Nomor Pol : Sp – Han / 23 / III / 2020 Reskrim tertanggal 07 Maret 2020, yang ditandatangani oleh IPTU JAMARI, SH., MH Kasat Reskrim Polres TTS a.n Kapolres TTS selaku Penyidik  dan terhadap kedua buah surat ini yakni Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan sampai dengan saat ini tidak pernah diserahkan kepada PEMOHON / Keluarga / Penasihat Hukum PEMOHON sehingga hal ini menunjukan sikap kurang profesinalisme dan kesewenang-wenangan oleh TERMOHON;
  8. Bahwa selain itu jika dicermati secara baik–baik tentang Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan oleh TERMOHON maka dapat diperoleh fakta bahwa ternyata TERMOHON terlebih dahulu mengenakan tindakan penahanan terhadap diri PEMOHON sebagaimana Surat Perintah Penahanan Nomor Pol : Sp – Han / 23 / III / 2020 Reskrim barulah melakukan tindakan penangkapan sebagaimana Surat Perintah Penangkapan Nomor Pol. : Sp – Kap / 24 /III / 2020 / Reskrim sehingga jelas tindakan TERMOHON yang mendahulukan upaya Paksa Penahanan sebelum Upaya Paksa Penangkapan sebagaimana tergambar melalui nomor surat yang dikeluarkan tersebut adalah sebuah tindakan yang CACAT HUKUM / CACAT PROSEDURAL dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat serta patut dicurigai TERMOHON memilik itikad tidak baik untuk menyusahkan PEMOHON. Apakah hal ini disebabkan karena posisi Pelapor yang konon adalah seorang yang berharta / kaya, memiliki banyak mobil rental sehingga Pelapor terlihat begitu istimewa diperlakukan dimata TERMOHON? Semoga terhadap dugaan ini adalah tidak benar dan semoga TERMOHON tetap professional menjalankan tugasnya sebagai Penjaga, Pelindung dan Pengayom Masyarakat bukan Penjaga, Pelindung dan Pengayom Mereka Yang Berduit / Berharta;
  9. Bahwa selain itu hal ini penting lain yang perlu dicermati adalah bahwa untuk menaikan status penanganan perkara ke tahapan Penyidikan harus memenuhi prasyarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan bahwa dasar dilakukannya Penyidikan adalah :
  1. Adanya laporan polisi/Pengaduan;
  2. Adanya Surat Perintah Tugas;
  3. Adanya Laporan Hasil Penyelidikan;
  4. Adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP);
  1. Bahwa jika merujuk pada Ketentuan Pasal 4 Perkapri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana diatas maka jelas bahwa tindakan TERMOHON dalam mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp – Dik / 30 / III / 2020 / Reskrim tertanggal 05 Maret 2020 adalah CACAT HUKUM karena hanya didasarkan pada adanya Laporan/Pengaduan tanpa adanya Surat Perintah Tugas, adanya Laporan Hasil Penyidikan dan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP);
  2. Bahwa selain tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan TERMOHON sebagaimana digambarkan pada Poin 1-10 diatas, TERMOHON juga telah lalai dan bertindak sewenang-wenangan terkait Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang mana baik PEMOHON maupun keluarga PEMOHON tidak pernah diberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh TERMOHON sampai dengan diajukannya Permohonan PRAPERADILAN ini, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 130/PUU-XIII/2015 telah mewajibkan TERMOHON tidak hanya memberitahukan dan menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum, melainkan juga wajib memberitahukan dan menyerahkan kepada terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan;
  3. Bahwa terkait dengan SPDP dimaksud, dalam perkara a quo Surat Perintah Penyidikan dengan Nomor : Sp – Dik / 30 / III / 2020 / Reskrim dikeluarkan oleh PEMOHON pada tanggal 05 Maret 2020, sehingga seharusnya jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 130/ PUU-XIII/2015, PEMOHON sudah harus menerima SPDP paling lambat tanggal 12 Maret 2020;
  4. Bahwa pemberian SPDP dari TERMOHON kepada PEMOHON dimaksudkan agar PEMOHON maupun keluarga PEMOHON dapat mengetahui dan mengawasi sejauhmana proses hukum yang sedang dijalani dan sedini mungkin dapat menyiapkan pembelaan terhadap persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh PEMOHON, serta lebih dari itu secara filosofis pemberian SPDP kepada PEMOHON oleh TERMOHON adalah untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah adanya ketidak-adilan dan kesewenangan dalam penanganan perkara terhadap diri PEMOHON;
  5. Bahwa dengan merujuk pada semua fakta hukum sebagaimana Poin 1-12 diatas maka jelas dan nyata bahwa TERMOHON telah bertindak secara sewenang-wenang dan melanggar HAM baik itu mneyangkut Penetapan PEMOHON sebagai TERSANGKA maupun tentang Penangkapan dan Penahanan, oleh karenanya semua tindakan TERMOHON tersebut haruslah dinyatakan CACAT HUKUM dan harus DIBATALKAN;

 

Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum apabila PEMOHON memohon agar Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Soe Kelas II melalui Hakim Tunggal berkenan untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo serta menjatuhkan Putusan dengan amar sebagai berikut:--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

  1. MENERIMA dan MENGABULKAN Permohonan Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;
  2. MENYATAKAN HUKUM bahwa Penetapan Tersangka oleh TERMOHON atas diri PEMOHON karena diduga telah melakukan Tindak Pidana Percobaan Aborsi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 77A Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 348Ayat (1) Jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1e KUHP adalah tidak sah karena tidak didukung dengan 2 (dua) alat bukti serta tanpa disertai Pemeriksaan Calon Tersangka;
  3. MENYATAKAN HUKUM bahwa Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp – Dik / 30 / III / 2020 / Reskrim tertanggal 05 Maret 2020 yang dikeluarkan oleh TERMOHON atas diri PEMOHON adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  4. MENYATAKAN HUKUM bahwa Surat Perintah Penangkapan Nomor Pol. : Sp – Kap / 24 /III / 2020 / Reskrim tertanggal 06 Maret 2020 dan Surat Perintah Penahanan No. Pol : Sprint – Han / 23 / III / 2020 Reskrim tertanggal 07 Maret 2020 yang dikeluarkan oleh TERMOHON atas diri PEMOHON adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  5. MENYATAKAN HUKUM bahwa perbuatan TERMOHON yang tidak menyerahkan Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada PEMOHON / Keluarga PEMOHON adalah perbuatan yang melanggar Hukum dan HAM sehingga segala keputusan atau penetapan yang telah dikeluarkan maupun akan dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON haruslah dinyatakan CACAT HUKUM dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  6. MEMERINTAHKAN kepada TERMOHON untuk segera membebaskan/mengeluarkan PEMOHON dari Rumah Tahanan Negara;
  7. MEMERINTAHKAN kepada TERMOHON untuk segera memulihkan harkat dan martabat PEMOHON seperti keadaa semula termasuk segala kerugian yang dialami PEMOHON baik secara materil maupun imateril;
  8. Membebankan biaya perkara kepada TERMOHON;

 

A T A U

Jikalau Yang Mulia Hakim Tunggal berpendapat lain,

mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)

Pihak Dipublikasikan Ya